Waktu umurku masih enam tahun—masa di mana aku masih mencoba memasak kerikil dan tanah—aku berpikir bahwa setiap orang yang sedang jatuh cinta akan menyanyikan lagu dan menari. Semakin umurku bertambah aku menyadari bahwa diriku telah ditipu oleh pemikiranku sendiri. Mungkin efek terlalu sering menonton Bollywood kesukaan ibu. Soalnya tiap aku ingin mengganti channel televisi untuk menonton kartun, ibu langsung menatapku dan dari tatapannya aku langsung tahu bahwa uang saku milikku terancam berkurang. Mulai saat itu juga aku jadi tercemar oleh tontonan ibu.
Korban pertama dari pemikiran absurdku adalah Neo—anak dari Bu Lian tetanggaku. Aku dan Neo satu sekolah, saat itu kami masih TK. Aku suka padanya karena gayanya yang saat itu kupikir keren. Rambutnya memiliki jambul macam kakatua, dia juga memakai jam tangan yang bisa menyala-nyala dan mengeluarkan suara saat tombol pada jam tangan itu ditekan, yang mana hal itu kadang membuatku iri dan merengek ingin dibelikan.
Aku memulai sebuah misi: mengungkapkan rasa suka, dengan menyanyi dan menari saat siang pulang sekolah, kebetulan tiap siang aku selalu dititipkan di rumah Neo karena ibuku baru akan pulang saat senja. Karena bakatku yang notabenenya masih terkubur bermeter-meter jauhnya, maka dapat dikatakan aku payah dalam menyanyi dan menari.
Jadi dengan polosnya aku menyanyikan lagu anak-anak: Balonku Ada Lima, dan berjoget dengan kedua tangan tertekuk menirukan gerak kepakan ayam.
“Apa yang kau lakukan? Kau terlihat konyol, Zi.” Neo mengatakan hal itu dengan lantang kemudian tertawa terbahak-bahak.
AKU MALU!
Maka dari saat itu aku sadar, ternyata apa yang kulakukan memang konyol. Memang nyambung? Lagu Balonku dengan gerakan bak induk ayam? Pada saat itu aku berpikir seharusnya mengganti nyanyian Balonku dengan nyanyian yang berhubungan dengan unggas.
Kali kedua aku suka anak cowok, dia adalah teman sekelasku anak pindahan dari kota, aku masih kelas tiga SD saat itu omong-omong. Dia duduk di baris kedua kolom ketiga dari pintu, sedangkan aku baris ketiga kolom kedua dari pintu.
Tubuhnya gempal dan karena itu dia sering diejek oleh teman-temannya. Tapi, menurutku dia lucu dan manis, pipinya bulat yang mana saat dia berlari akan bergerak-gerak. Rambutnya juga lurus terlihat klimis terlalu banyak diberi minyak rambut—mungkin oleh ibunya. Dua hal itu membuat diriku dulu langsung jatuh hati padanya. Melihat dia sering diganggu oleh teman laki-laki di kelas, aku langsung membelanya, mengusir mereka agar tak mengganggunya. Walau badanku kecil nyaliku besar, dan aku termasuk begundal pada saat SD.
“Terima kasih, sudah menolongku … emm.” Bahkan suaranya terdengar imut pada saat itu.
“Zivana, namaku Zivana, kamu bisa panggil aku Zi dan sama-sama.” Aku menjawab begitu antusias, bahkan aku merasa mataku berbinar-binar saat mengatakan itu. Kulihat dia tersenyum kemudian mengangguk, “iya, makasih, Zi. Omong-omong namaku Darwis salam kenal.” Ucap si Berwis—sepertinya memang iya namanya itu, tapi aku merasa ada yang janggal. Entahlah.
“Iya, Berwis, salam kenal ya.” Aku dengan antusias menjawab tanpa menyadari wajahnya yang berubah kecut saat itu. Mulai saat itu kami jadi sering main bareng. Dia juga sering mengikutiku macam anak itik.
Suatu hari sebuah pikiran absurd kembali menyambangi kepalaku yaitu sebuah opersi dari misi: mengungkapkan rasa suka, harus berlanjut. Jadi tepat saat istirahat, aku mendekati Berwis dan bilang akan menunjukkan sesuatu padanya. Dia cuma manggut-manggut saja dan langsung beranjak mengikutiku. Aku mengajaknya ke kantin sekolah tepatnya warung milik Bu Sukma untuk menjalankan misi konyolku pada saat itu.
“Zi, mau nunjukin apa?” Tanyanya.
“Lihat baik-baik ya, Ber, aku akan menunjukan bakat yang telah ku asah sekian lama,” aku terpaku mengingat sesuatu kemudian meralat ucapanku, “maksudku, Darwis, aku baru ingat namamu yang benar adalah itu.”
Maka setelahnya aku memulai aksi konyolku saat itu juga, Berwis—maksudku Darwis, aku sudah terlanjur nyaman menyebutnya Berwis—duduk di kursi, menonton.
Tek-kotek-kotek-kotek
Anak ayam turun berkotek
Tek-kotek-kotek-kotek
Anak ayam turun berkotek
Anak ayam turunlah enam
Pergi satu, tinggallah lima
Anak ayam turunlah lima
Pergi satu, tinggallah empat
Waktu itu tarianku masih sama—menirukan kepakan sayap ayam. Aku menyanyikan lagu yang pas dengan gerakanku setelah belajar dari masa lalu. Berwis entah mengapa terlihat terkejut namun setelahnya terkikik lalu berkata, “kau memang berbakat, Zi,” ucapnya kemudian bertepuk tangan tampaknya memberi apresiasi.
Aku yang diberi sebuah apresiasi tentu bersemangat dan merampungkan nyanyianku dengan gembira. Bu Sukma juga tertawa melihat kegigihanku. Setelah selesai, aku lanjut menampilkan hal lain yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari untuk menyempurnakan penampilanku kali ini. Aku mengeluarkan sebuah catatan dari saku.
“Pergi Afrika lewat Ciamis—”
“Cakep.” Bu Sukma dan Berwis menyaut.
“Sampai tujuan kena chikungunya—”
Kemudian Bu Sukma dan Berwis menyaut lirih, dengan raut muka ngeri.
“Aku suka Berwis—” aku berhenti sejenak kemudian meralat, “maksudku Darwis.”
Pipi Berwis terlihat memerah, dan sepertinya menunggu kelanjutan pantunku. Bu Sukma beda lagi dia hanya geleng-geleng kepala kemudian menggumamkan sebuah kalimat, anak-anak jaman sekarang.
“Maka dari itu, yuk, jadi teman selamanya.” Bu Sukma terbahak mendengar lanjutan dari pantunku dan menepuk-nepuk pundak Berwis seraya berkata, “yang sabar, ya, haha,” dan Berwis merengut pipinya tambah merah sepertinya merasa malu. Maka aku merasa sangat bangga saat itu karena mengira aksiku telah berhasil.
Namun, entah mengapa keesokan harinya Berwis seperti menghindariku.
Penulis : Tigowati
Mading 2024